A.
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Manusia padasarnya adalah unik yang
memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional. Ketika berpikir
dan bertingkahlaku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan kompeten. Ketika
berpikir dan bertingkahlaku irasional individu itu menjadi tidak efektif.Reaksi
emosional seseorang sebagian besar disebabkan oleh evaluasi, interpretasi, dan
filosofi yang disadari maupun tidak disadari.Hambatan psikologis atau emosional
adalah akibat dari cara berpikir yang tidak logis dan irasional.
Untuk itu perlu mengetahui pendekatan-pendekatan yang dilakukan
konselor kepada klien.
2.
Tujuan
Penulisan
Untuk melengkapi tugas yang diberikan oleh Dosen Pembimbing dalam
mata kuliah Bimbingan dan Konseling, Bapak Agusrianto, MA.
B.
PEMBAHASAN
PENDEKATAN DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING
1.
Pendekatan
Konseling Rasional-Emotif
Teori Konseling Rasional Emotif dengan istilah lain dikenal dengan
“rational-emotive therapy” yang dikembangkan oleh Albert Ellis, seorang
ahli Clinical Psychology (Psikologi Klinis).[1]
Atas dasar pengalaman selama praktiknya dan kemudian dihubungkan
dengan teori tingkah laku belajar, maka akhirnya Albert Ellis mencoba untuk
mengembangkan suatu teori yang disebut “Rational Emotive Therapy”, dan
selanjutnya popular dengan singkatan RET.
Tujuan dari RET Albert Ellis pada intinya adalah untuk mengatasi
pikiran yang tidak logis tentang diri sendiri dan lingkungannya. Konselor/
terapis berusaha agar klien makin menyadari pikiran dan kata-katanya sendiri,
serta mengadakan pendekatan yang tegas, melatih klien untuk bisa berfikir dan
berbuat lebih realistis dan rasional.[2]
a.
Konsep
Dasar Konseling Rasional-Emotif
1.
Ciri-ciri
Konseling Rasional-Emotif
a)
Dalam
menelusuri masalah klien yang dibantunya, konselor berperan lebih aktif dibandingkan
dengan klien.
b)
Dalam
proses hubungan konseling harus diciptakan dan dipelihara hubungan baik dengan
klien.
c)
Tercipta
dan terpeliharanya hubungan baik ini dipergunakan oleh konselor untuk membantu
klien mengubah cara berpikirnya yang tidak rasional menjadi rasional.
d)
Dalam
proses hubungan konseling, konselor tidak terlalu banyak menelusuri kehidupan
masa lampau klien.
e)
Diagnosis
(rumusan masalah) yang dilakukan dengan konseling rasional-emotif bertujuan
untuk membuka ketidaklogisan pola berpikir dari klien.[3]
2.
Hakikat
Masalah Yang Dihadapi Klien
Hakikat masalah yang dihadapi klien dalam pendekatan konseling
rasional-emotif itu muncul, disebabkan oleh ketidaklogisan klien dalam
berfikir. Ketidaklogisan berpikir ini selalu berkaitan dan bahkan menimbulkan hambatan,
gangguan atau kesulitan-kesulitan emosional dalam melihat dan mentafsirkan
objek atau fakta yang dihadapinya.[4]
3.
Tujuan
Konseling Rasional-Emotif
Tujuan utama dari konseling rasional-emotif ialah dan menunjukkan
dan menyadarkan klien bahwa cara
berfikir yang tidak logis itulah yang menyebab gangguan emosionalnya. Atau
dengan kata lain konseling rasional-emotif ini bertujuan membantu klien
membebaskan dirinya dari cara berpikir atau ide-idenya yang tidak logis dan
menggantinya dengan cara-cara yang logis.[5]
b.
Proses
dan Teknik Konseling Rasional-Emotif
1)
Konselor
berusaha menunjukkan kepada klien bahwa
masalah yang dihadapinya berkaitan dengan keyakinannya yang tidak rasional.
2)
Konselor
menyadarkan klien bahwa pemecahan masalah yang dihadapinya merupakan tanggung
jawab sendiri.
3)
Konselor
berperan mengajak klien menghilangkan cara berpikir dan gagasan yang tidak
rasional.
4)
Konselor
mengembangkan pandangan-pandangan yang realistis dan menghindarkan diri dari
keyakinan yang tidak rasional.[6]
c.
Teknik-teknik
Konseling Rasional-Emotif
1)
Teknik
Pengajaran
Teknik
ini memberikan keluasan kepada konselor untuk berbicara serta menunjukkan
sesuatu kepada klien, terutama menunjukkan bagaimana ketidaklogisan berpikir
itu secara langsung menimbulkan gangguan emosional kepada klien.
2)
Teknik
Konfrontasi
Konselor
menyerang ketidaklogisan berpikir klien kea rah berpikir logis empiris.
3)
Teknik
Persuasif
Yaitu
meyakinkan klien untuk mengubah pandangannya, karena pandangan yang ia
kemukakan itu tidak benar.
4)
Teknik
Pemberian Tugas
Dalam
teknik ini konselor menugaskan klien untuk mencoba melakukan tindakan tertentu
dalam situasi nyata.[7]
d.
Landasan
Konseling Rasional-Emotif
1.
Pandangan
Tentang Hakikat Manusia
Beberapa
pandangan tentang hakikat manusia yang diajukan oleh Albert Ellis, yang
mewarnai teori Rational-Emotive Therapy ialah sebagai berikut:
a)
Manusia
dipandang sebagai makhluk yang rasional dan juga tidak rasional.
Pada
hakikatnya manusia itu memiliki kecenderungan untuk berpikir yang rasional atau
logis, di samping itu juga ia juga memiliki kecenderungan untuk berpikir tidak
rasional atau tidak logis. Kedua kecenderungan yang dimiliki oleh manusia ini
akan tampak dengan jelas dan tergambar dalam bentuk tingkah lakunya yang nyata.
Dengan kata lain, dapat dijelaskan bahwa apabila seseorang telah berpikir
rasional atau logis yang dapat diterima dengan akal sehat, maka orang itu akan
bertingkah laku rasional dan logis pula. Tetapi sebaliknya apabila seseorang
itu berpikir yang tidak rasional atau tidak bisa diterima akal sehat, maka ia
menunjukkan tingkah laku yang tidak rasional. Pola berpikir semacam inilah oleh
Ellis yang disebut sebagai penyebab bahwa seseorang itu mengalami gangguan
emosional.
b)
Pikiran,
perasaan, dan tindakan manusia adalah merupakan suatu proses yang satu dengan
yang lainnya tidak dapat dipisahkan.
c)
Individu
bersifat unik dan memiliki potensi untuk memahami keterbatasannya, serta
potensi mengubah pandangan dasar dan nilai-nilai yang diterimanya secara tidak
kritis.[8]
2.
Konsep-Konsep
Dasar Teori Rasional-Emotif
Konsep dasar teori Rasional-Emotif ini mengikuti pola yang teliti,
didasarkan pada teori A-B-C.
A = Activating Experience (pengalaman aktif) Ialah suatu
keadaaan, fakta peristiwa, atau tingkah laku yang dialami individu.
B = Belief System (cara individu memandang sesuatu hal).
Pandangan dan penghayatan individu terhadap A.
C = Emotional Consequence (akibat emosional). Akibat
emosional atau reaksi individu positif atau negative.
Contoh:
Bahwa seseorang itu
takut kepada sesuatu benda tertentu, misalnya: takut (phobia) melihat
film-film horror, takut melihat gambar singa, takut melihat kapal terbang, dan
sebagainya, disebabkan ada anggapan atau penghayatan terhadap sesuatu benda itu
bersifat tidak rasional.
Bila disimak lebih
mendalam dari teori A-B-C tersebut maka sasaran utama yang seharusnya diubah
paling dini adalah aspek B, (Belief System), yakni bagaimana caranya
seseorang itu memandang atau menghayati sesuatu yang tidak rasional.[9]
3.
Penerapan
Teori Konseling Rasional-Emotif
Penerapan
teori konseling rasional-emotif sangat ideal apabila diterapkan di sekolah,
terutama oleh guru, konselor, atau guru pembimbing yang berwibawa.[10]
2.
Pendekatan
Konseling Analisis Transaksional
Prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh Eric Berne dalam analisis
transaksional adalah upaya untuk merangsang rasa tanggung jawab pribadi atas
tingkah lakunya sendiri, pemikiran yang logis, rasional, tujuan-tujuan yang
realistis, berkomunikasi dengan terbuka, wajar, dan pemahaman dalam berhubungan
dengan orang lain.
Secara historis analisis transaksional dari Eric Berne berasal dari
psikoanalisis yang dipergunakan dalam konseling/terapi kelompok, tetapi kini
telah dipergunakan pula secara meluas dalam konseling/ terapi individual.[11]
a.
Teori
Kepribadian
1.
Struktur
Kepribadian
Sumber0sumber dari tingkah laku bagaimana seseorang itu bisa
melihat suatu realitas dan bagaimana mereka itu mengolah berbagai informasi
serta bereaksi dengan dunia pada umumnya. Inilah yang kemudian oleh Eric Berne
disebut sebagai Ego State (Status Ego). Dengan akata yang lebih
sederhana istilah status ego dipergunakan untuk menyatakan suatu sistem
perasaan dan kondisi pikiran serta berkaitan dengan pola-pola dari tingkah
lakunya. status ego yang ada pada diri seseorang itu terbentuk berdasarkan
pengalaman-pengalaman yang diperoleh seseorang yang masih membekas pada diri
sejak masa kecil.
Menurut Eric Berne bahwa status ego seseorang terdiri dari
unsur-unsur sebagai berikut:
1.
Orang
tua (parent)
2.
Dewasa (adult)
3.
Anak
(child)[12]
a)
Status
ego orang tua
Bila
seseorang merasa dan bertingkah laku seperti orang tua atau tokoh-tokoh
terdahulu, maka ia dapatlah berada dalam status ego orang tua. Setiap orang
mendapatkan berbagai bentuk pengalaman, sikap, serta pendapat dari orang tuanya
masing-masing. Status ego orang tua itu dapat dilihat dengan nyata sebagaimana
yang pernah dilihat oleh orang tua masing-masing, misalnya: membimbing,
membantu, mengarahkan, menyayangi, menasihati, mengecam, mengomando, mendikte,
dan lain sebagainya.
Sedangkan
dalam bentuk sifatnya, status ego orang tua dapat dilihat dari sifat orang tua,
yaitu: orang tua penolong dan orang tua pengecam atau dapat pula disebut
bersifat pengasuh dan pengatur.[13]
b)
Status
ego dewasa
Status
ego dewasa adalah bentuk tindakan seseorang yang didasarkan atas dasar pikiran
yang rasional, logis, objektif, dan bertanggung jawab.[14]
c)
Status
ego anak
Status
ego anak adalah suatu tindakan dari seseorang yang didasarkan pada reaksi
emosional yang spontan, reaktif, humor, kreatif, serta inisiatif.
Bentuk
ego anak dapat berbentuk wajar apabila terlihat bahwa tingkah lakunya pada masa
anak-anak yaitu: adanya ketergantungan pada orang lain, spontan, bebas, tidak
mau kompromi, implusif serta agresif. Ada pula bentuk status ego anak yang
sedang berkembang akan terlihat pada pola tingkah lakunya yang kreatif, penuh
perasaan ingin tahu, fantastis, ada motif meraba, merasakan serta berbagai
bentuk penemuan-penemuan yang baru, sedang bentuk status ego yang lain ialah
adanya pengaruh tertentu dari orang tuanya.[15]
2.
Stroke
Dalam teori Eric Berne mengemukakan suatu istilah yang disebut stroke,
kalau diterjemahkan bisa disebut dengan “tanda perhatian”.
a.
Stroke
Positif (positive stroke)
Stroke
positif adalah segala bentuk perhatian yang secara langsung dapat memperkuat
motivasi dan kegairahan dalam kehidupan yang diperoleh seseorang dalam awal
hidupnya.
b.
Stroke
negatif (negative stroke)
Stroke
negatif adalah suatu bentuk stroke (tanda perhatian) yang menunjukkan pandangan
yang mengecewakan atau menyesali, pukulan, tamparan yang menyakiti fisik, acuh
tak acuh dan sebagainya.
c.
Stroke
bersyarat (conditional stroke)
Stroke
bersyarat dapat diartikan sebagai suatu tanda perhatian yang diperoleh
seseorang disebabkan ia telah melakukan sesuatu.
d.
Stroke
tidak bersyarat (unconditional stroke)
Stroke
tidak bersyarat atau dapat pula disebut tanda perhatian tidak bersyarat,
merupakan tanda perhatian yang diperoleh seseorang tanpa dikenakan persyaratan
tertentu (tanpa syarat apa pun).[16]
3.
Struktur
Hunger
Eric Berne berpendapat bahwa kebutuhan seseorang untuk mengaddakan
serangkaian transaksi bagi individu yang lainnya adalah bersumber pada suatu
timulus atau sensation hunger, dan recognition hunger.
Setiap orang ingin mendapatkan kontak, baik fisik maupun psikis
dengan orang lainnya dan setiap orang ingin untuk menggunakan waktunya
sebaik-baiknya sepanjang hidupnya. Dalam analisis transaksional dari Eric Berne
mengemukakan enam cara penggunaan waktu, diantaranya:
a.
Withdrawal
(penarikan diri)
b.
Rituals
c.
Pastimes
(pengisian waktu luang)
d.
Aktivitas
e.
Games
f.
Intimacy
(keakraban)[17]
b.
Macam-macam
Tipe Transaksi
Eric Berne dalam teori analisis transaksionalnya menyebutkan apa
yang dikerjakan atau dikatakan pada orang lain disebut sebagai transaksi. Dalam
analisis transaksional (TA) ini berusaha untuk menunjukkan rasa tanggung jawab
pribadi atas tingkah lakunya, pemikiran yang rasional, tujuan-tujuan yang
realistis, berkomunikasi secara terbuka, kepuasan dan kewajaran dalam
mengadakan kontak dengan orang lain.
Dalam analisis transaksional, ada tiga macam tipe transaksi, di
antaranya: (1) complementary (komplementer = senada), (2) Crossed
(silang), dan (3) urterior (terselubung).[18]
c.
Konseling
Analisis Transaksional
1.
Tujuan
Konseling Analisis Transaksional
Menurut Eric Berne mengemukakan empat tujuan yang ingin dicapai dalam
konseling analisis transaksional, yaitu:
a.
Konselor
membantu klien yang mengalami kontaminasi (pencemaran) status ego yang
berlebihan.
b.
Konselor
berusaha membantu mengembangkan kapasitas diri klien dalam menggunakan semua
status egonya yang cocok.
c.
Konselor
berusaha membantu klien dalam mengembangkan seluruh status ego dewasanya.
d.
Tujuan
akhir dari konseling adalah membantu klien dalam membebaskan dirinya dari
posisi hidup yang kurang cocok serta menggantinya dengan rencana hidup yang
baru atau naskah hidup (life script) yang lebih produktif.
2.
Proses
dan Tteknik Konseling Analisis Transaksional
Berdasarkan keempat tujuan konseling di atas, kemudian dibuatlah
suatu kontrak. Kontrak di antaranya konselor dank lien ini merupakan suatu
cirri khas dalam usaha klien untuk mengadakan hubungan proses konseling
analisis transaksional.
Dalam konseling yang menggunakan pendekatan analisis transaksional
digunakan teknik tertentu. Teknik yang dipergunakan terdiri dari empat tahap.
Tahap-tahap itu diantaranya: (a) Struktural, (b) Analisis transaksional, (c)
Analisis naskah (script analisysis), dan (d)
Analisis mainan (game analysis).[19]
3.
Karakteristik
Pendekatan Konseling Analisis Transaksional
Konselor analisis transaksional adalah individu yang lebih banyak
berperan sebagai fasilitator dalam proses kelompok dan juga sebagai pemimpin
yang memiliki keahlian dalam menganalisis status ego, transaksi, permainan, dan
naskah hidup (life script). Di samping itu konselor juga harus memiliki
kapasitas diri sendiri untuk mengadakan interaksi, komunikasi atau transaksi
dengan klien secara terbuka, penuh kehangatan dan murni. Dan juga konselor
harus memiliki kemampuan untuk membaca dan mengamati tingkah laku klien baik
secara langsung maupun tidak langsung, baik verbal maupun non-verbal.[20]
C.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Teori Konseling Rasional Emotif dengan istilah lain dikenal dengan
“rational-emotive therapy” yang dikembangkan oleh Albert Ellis, seorang
ahli Clinical Psychology (Psikologi Klinis)Tujuan dari RET Albert Ellis
pada intinya adalah untuk mengatasi pikiran yang tidak logis tentang diri
sendiri dan lingkungannya.
Prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh Eric Berne dalam analisis
transaksional adalah upaya untuk merangsang rasa tanggung jawab pribadi atas
tingkah lakunya sendiri, pemikiran yang logis, rasional, tujuan-tujuan yang
realistis, berkomunikasi dengan terbuka, wajar, dan pemahaman dalam berhubungan
dengan orang lain.
2.
Saran
Segala tegur sapa dari pembaca sekalian sangat kami harapkan untuk
mencapai sebuah makalah yang benar dan sempurna, serta bernilai ibadah di sisi
Allah swt.
Daftar Kepustakaan
Sukardi, MBA.,
MM.Drs. Dewa Ketut, Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di
Sekolah. (Jakarta: Rineka Cipta, 2008)
[1]
Drs. Dewa Ketut Sukardi, MBA., MM., Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan
dan Konseling di Sekolah. (Jakarta: Rineka Cipta, 2008) hal.142
[2]
ibid
[3]
Ibid. hal. 143
[4]
Ibid.
[5]
Ibid.
[6]
Ibid.
[7]
Ibid. hal 145-146
[8]
Ibid. 106-108
[9]
Ibid. hal. 149-151
[10]
Ibid. hal. 152
[11]
Ibid.
[12]
Ibid. 153
[13]
Ibid. hal. 154-155
[14]
Ibid.
[15]
Ibid. hal. 157-158
[16]Ibid.
hal. 158-159
[17]
Ibid. hal. 159-162
[18]
Ibid. hal. 165
[19]
Ibid. hal. 170
[20]
Ibid. hal 174
A.
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Manusia padasarnya adalah unik yang
memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional. Ketika berpikir
dan bertingkahlaku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan kompeten. Ketika
berpikir dan bertingkahlaku irasional individu itu menjadi tidak efektif.Reaksi
emosional seseorang sebagian besar disebabkan oleh evaluasi, interpretasi, dan
filosofi yang disadari maupun tidak disadari.Hambatan psikologis atau emosional
adalah akibat dari cara berpikir yang tidak logis dan irasional.
Untuk itu perlu mengetahui pendekatan-pendekatan yang dilakukan
konselor kepada klien.
2.
Tujuan
Penulisan
Untuk melengkapi tugas yang diberikan oleh Dosen Pembimbing dalam
mata kuliah Bimbingan dan Konseling, Bapak Agusrianto, MA.
B.
PEMBAHASAN
PENDEKATAN DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING
1.
Pendekatan
Konseling Rasional-Emotif
Teori Konseling Rasional Emotif dengan istilah lain dikenal dengan
“rational-emotive therapy” yang dikembangkan oleh Albert Ellis, seorang
ahli Clinical Psychology (Psikologi Klinis).[1]
Atas dasar pengalaman selama praktiknya dan kemudian dihubungkan
dengan teori tingkah laku belajar, maka akhirnya Albert Ellis mencoba untuk
mengembangkan suatu teori yang disebut “Rational Emotive Therapy”, dan
selanjutnya popular dengan singkatan RET.
Tujuan dari RET Albert Ellis pada intinya adalah untuk mengatasi
pikiran yang tidak logis tentang diri sendiri dan lingkungannya. Konselor/
terapis berusaha agar klien makin menyadari pikiran dan kata-katanya sendiri,
serta mengadakan pendekatan yang tegas, melatih klien untuk bisa berfikir dan
berbuat lebih realistis dan rasional.[2]
a.
Konsep
Dasar Konseling Rasional-Emotif
1.
Ciri-ciri
Konseling Rasional-Emotif
a)
Dalam
menelusuri masalah klien yang dibantunya, konselor berperan lebih aktif dibandingkan
dengan klien.
b)
Dalam
proses hubungan konseling harus diciptakan dan dipelihara hubungan baik dengan
klien.
c)
Tercipta
dan terpeliharanya hubungan baik ini dipergunakan oleh konselor untuk membantu
klien mengubah cara berpikirnya yang tidak rasional menjadi rasional.
d)
Dalam
proses hubungan konseling, konselor tidak terlalu banyak menelusuri kehidupan
masa lampau klien.
e)
Diagnosis
(rumusan masalah) yang dilakukan dengan konseling rasional-emotif bertujuan
untuk membuka ketidaklogisan pola berpikir dari klien.[3]
2.
Hakikat
Masalah Yang Dihadapi Klien
Hakikat masalah yang dihadapi klien dalam pendekatan konseling
rasional-emotif itu muncul, disebabkan oleh ketidaklogisan klien dalam
berfikir. Ketidaklogisan berpikir ini selalu berkaitan dan bahkan menimbulkan hambatan,
gangguan atau kesulitan-kesulitan emosional dalam melihat dan mentafsirkan
objek atau fakta yang dihadapinya.[4]
3.
Tujuan
Konseling Rasional-Emotif
Tujuan utama dari konseling rasional-emotif ialah dan menunjukkan
dan menyadarkan klien bahwa cara
berfikir yang tidak logis itulah yang menyebab gangguan emosionalnya. Atau
dengan kata lain konseling rasional-emotif ini bertujuan membantu klien
membebaskan dirinya dari cara berpikir atau ide-idenya yang tidak logis dan
menggantinya dengan cara-cara yang logis.[5]
b.
Proses
dan Teknik Konseling Rasional-Emotif
1)
Konselor
berusaha menunjukkan kepada klien bahwa
masalah yang dihadapinya berkaitan dengan keyakinannya yang tidak rasional.
2)
Konselor
menyadarkan klien bahwa pemecahan masalah yang dihadapinya merupakan tanggung
jawab sendiri.
3)
Konselor
berperan mengajak klien menghilangkan cara berpikir dan gagasan yang tidak
rasional.
4)
Konselor
mengembangkan pandangan-pandangan yang realistis dan menghindarkan diri dari
keyakinan yang tidak rasional.[6]
c.
Teknik-teknik
Konseling Rasional-Emotif
1)
Teknik
Pengajaran
Teknik
ini memberikan keluasan kepada konselor untuk berbicara serta menunjukkan
sesuatu kepada klien, terutama menunjukkan bagaimana ketidaklogisan berpikir
itu secara langsung menimbulkan gangguan emosional kepada klien.
2)
Teknik
Konfrontasi
Konselor
menyerang ketidaklogisan berpikir klien kea rah berpikir logis empiris.
3)
Teknik
Persuasif
Yaitu
meyakinkan klien untuk mengubah pandangannya, karena pandangan yang ia
kemukakan itu tidak benar.
4)
Teknik
Pemberian Tugas
Dalam
teknik ini konselor menugaskan klien untuk mencoba melakukan tindakan tertentu
dalam situasi nyata.[7]
d.
Landasan
Konseling Rasional-Emotif
1.
Pandangan
Tentang Hakikat Manusia
Beberapa
pandangan tentang hakikat manusia yang diajukan oleh Albert Ellis, yang
mewarnai teori Rational-Emotive Therapy ialah sebagai berikut:
a)
Manusia
dipandang sebagai makhluk yang rasional dan juga tidak rasional.
Pada
hakikatnya manusia itu memiliki kecenderungan untuk berpikir yang rasional atau
logis, di samping itu juga ia juga memiliki kecenderungan untuk berpikir tidak
rasional atau tidak logis. Kedua kecenderungan yang dimiliki oleh manusia ini
akan tampak dengan jelas dan tergambar dalam bentuk tingkah lakunya yang nyata.
Dengan kata lain, dapat dijelaskan bahwa apabila seseorang telah berpikir
rasional atau logis yang dapat diterima dengan akal sehat, maka orang itu akan
bertingkah laku rasional dan logis pula. Tetapi sebaliknya apabila seseorang
itu berpikir yang tidak rasional atau tidak bisa diterima akal sehat, maka ia
menunjukkan tingkah laku yang tidak rasional. Pola berpikir semacam inilah oleh
Ellis yang disebut sebagai penyebab bahwa seseorang itu mengalami gangguan
emosional.
b)
Pikiran,
perasaan, dan tindakan manusia adalah merupakan suatu proses yang satu dengan
yang lainnya tidak dapat dipisahkan.
c)
Individu
bersifat unik dan memiliki potensi untuk memahami keterbatasannya, serta
potensi mengubah pandangan dasar dan nilai-nilai yang diterimanya secara tidak
kritis.[8]
2.
Konsep-Konsep
Dasar Teori Rasional-Emotif
Konsep dasar teori Rasional-Emotif ini mengikuti pola yang teliti,
didasarkan pada teori A-B-C.
A = Activating Experience (pengalaman aktif) Ialah suatu
keadaaan, fakta peristiwa, atau tingkah laku yang dialami individu.
B = Belief System (cara individu memandang sesuatu hal).
Pandangan dan penghayatan individu terhadap A.
C = Emotional Consequence (akibat emosional). Akibat
emosional atau reaksi individu positif atau negative.
Contoh:
Bahwa seseorang itu
takut kepada sesuatu benda tertentu, misalnya: takut (phobia) melihat
film-film horror, takut melihat gambar singa, takut melihat kapal terbang, dan
sebagainya, disebabkan ada anggapan atau penghayatan terhadap sesuatu benda itu
bersifat tidak rasional.
Bila disimak lebih
mendalam dari teori A-B-C tersebut maka sasaran utama yang seharusnya diubah
paling dini adalah aspek B, (Belief System), yakni bagaimana caranya
seseorang itu memandang atau menghayati sesuatu yang tidak rasional.[9]
3.
Penerapan
Teori Konseling Rasional-Emotif
Penerapan
teori konseling rasional-emotif sangat ideal apabila diterapkan di sekolah,
terutama oleh guru, konselor, atau guru pembimbing yang berwibawa.[10]
2.
Pendekatan
Konseling Analisis Transaksional
Prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh Eric Berne dalam analisis
transaksional adalah upaya untuk merangsang rasa tanggung jawab pribadi atas
tingkah lakunya sendiri, pemikiran yang logis, rasional, tujuan-tujuan yang
realistis, berkomunikasi dengan terbuka, wajar, dan pemahaman dalam berhubungan
dengan orang lain.
Secara historis analisis transaksional dari Eric Berne berasal dari
psikoanalisis yang dipergunakan dalam konseling/terapi kelompok, tetapi kini
telah dipergunakan pula secara meluas dalam konseling/ terapi individual.[11]
a.
Teori
Kepribadian
1.
Struktur
Kepribadian
Sumber0sumber dari tingkah laku bagaimana seseorang itu bisa
melihat suatu realitas dan bagaimana mereka itu mengolah berbagai informasi
serta bereaksi dengan dunia pada umumnya. Inilah yang kemudian oleh Eric Berne
disebut sebagai Ego State (Status Ego). Dengan akata yang lebih
sederhana istilah status ego dipergunakan untuk menyatakan suatu sistem
perasaan dan kondisi pikiran serta berkaitan dengan pola-pola dari tingkah
lakunya. status ego yang ada pada diri seseorang itu terbentuk berdasarkan
pengalaman-pengalaman yang diperoleh seseorang yang masih membekas pada diri
sejak masa kecil.
Menurut Eric Berne bahwa status ego seseorang terdiri dari
unsur-unsur sebagai berikut:
1.
Orang
tua (parent)
2.
Dewasa (adult)
3.
Anak
(child)[12]
a)
Status
ego orang tua
Bila
seseorang merasa dan bertingkah laku seperti orang tua atau tokoh-tokoh
terdahulu, maka ia dapatlah berada dalam status ego orang tua. Setiap orang
mendapatkan berbagai bentuk pengalaman, sikap, serta pendapat dari orang tuanya
masing-masing. Status ego orang tua itu dapat dilihat dengan nyata sebagaimana
yang pernah dilihat oleh orang tua masing-masing, misalnya: membimbing,
membantu, mengarahkan, menyayangi, menasihati, mengecam, mengomando, mendikte,
dan lain sebagainya.
Sedangkan
dalam bentuk sifatnya, status ego orang tua dapat dilihat dari sifat orang tua,
yaitu: orang tua penolong dan orang tua pengecam atau dapat pula disebut
bersifat pengasuh dan pengatur.[13]
b)
Status
ego dewasa
Status
ego dewasa adalah bentuk tindakan seseorang yang didasarkan atas dasar pikiran
yang rasional, logis, objektif, dan bertanggung jawab.[14]
c)
Status
ego anak
Status
ego anak adalah suatu tindakan dari seseorang yang didasarkan pada reaksi
emosional yang spontan, reaktif, humor, kreatif, serta inisiatif.
Bentuk
ego anak dapat berbentuk wajar apabila terlihat bahwa tingkah lakunya pada masa
anak-anak yaitu: adanya ketergantungan pada orang lain, spontan, bebas, tidak
mau kompromi, implusif serta agresif. Ada pula bentuk status ego anak yang
sedang berkembang akan terlihat pada pola tingkah lakunya yang kreatif, penuh
perasaan ingin tahu, fantastis, ada motif meraba, merasakan serta berbagai
bentuk penemuan-penemuan yang baru, sedang bentuk status ego yang lain ialah
adanya pengaruh tertentu dari orang tuanya.[15]
2.
Stroke
Dalam teori Eric Berne mengemukakan suatu istilah yang disebut stroke,
kalau diterjemahkan bisa disebut dengan “tanda perhatian”.
a.
Stroke
Positif (positive stroke)
Stroke
positif adalah segala bentuk perhatian yang secara langsung dapat memperkuat
motivasi dan kegairahan dalam kehidupan yang diperoleh seseorang dalam awal
hidupnya.
b.
Stroke
negatif (negative stroke)
Stroke
negatif adalah suatu bentuk stroke (tanda perhatian) yang menunjukkan pandangan
yang mengecewakan atau menyesali, pukulan, tamparan yang menyakiti fisik, acuh
tak acuh dan sebagainya.
c.
Stroke
bersyarat (conditional stroke)
Stroke
bersyarat dapat diartikan sebagai suatu tanda perhatian yang diperoleh
seseorang disebabkan ia telah melakukan sesuatu.
d.
Stroke
tidak bersyarat (unconditional stroke)
Stroke
tidak bersyarat atau dapat pula disebut tanda perhatian tidak bersyarat,
merupakan tanda perhatian yang diperoleh seseorang tanpa dikenakan persyaratan
tertentu (tanpa syarat apa pun).[16]
3.
Struktur
Hunger
Eric Berne berpendapat bahwa kebutuhan seseorang untuk mengaddakan
serangkaian transaksi bagi individu yang lainnya adalah bersumber pada suatu
timulus atau sensation hunger, dan recognition hunger.
Setiap orang ingin mendapatkan kontak, baik fisik maupun psikis
dengan orang lainnya dan setiap orang ingin untuk menggunakan waktunya
sebaik-baiknya sepanjang hidupnya. Dalam analisis transaksional dari Eric Berne
mengemukakan enam cara penggunaan waktu, diantaranya:
a.
Withdrawal
(penarikan diri)
b.
Rituals
c.
Pastimes
(pengisian waktu luang)
d.
Aktivitas
e.
Games
f.
Intimacy
(keakraban)[17]
b.
Macam-macam
Tipe Transaksi
Eric Berne dalam teori analisis transaksionalnya menyebutkan apa
yang dikerjakan atau dikatakan pada orang lain disebut sebagai transaksi. Dalam
analisis transaksional (TA) ini berusaha untuk menunjukkan rasa tanggung jawab
pribadi atas tingkah lakunya, pemikiran yang rasional, tujuan-tujuan yang
realistis, berkomunikasi secara terbuka, kepuasan dan kewajaran dalam
mengadakan kontak dengan orang lain.
Dalam analisis transaksional, ada tiga macam tipe transaksi, di
antaranya: (1) complementary (komplementer = senada), (2) Crossed
(silang), dan (3) urterior (terselubung).[18]
c.
Konseling
Analisis Transaksional
1.
Tujuan
Konseling Analisis Transaksional
Menurut Eric Berne mengemukakan empat tujuan yang ingin dicapai dalam
konseling analisis transaksional, yaitu:
a.
Konselor
membantu klien yang mengalami kontaminasi (pencemaran) status ego yang
berlebihan.
b.
Konselor
berusaha membantu mengembangkan kapasitas diri klien dalam menggunakan semua
status egonya yang cocok.
c.
Konselor
berusaha membantu klien dalam mengembangkan seluruh status ego dewasanya.
d.
Tujuan
akhir dari konseling adalah membantu klien dalam membebaskan dirinya dari
posisi hidup yang kurang cocok serta menggantinya dengan rencana hidup yang
baru atau naskah hidup (life script) yang lebih produktif.
2.
Proses
dan Tteknik Konseling Analisis Transaksional
Berdasarkan keempat tujuan konseling di atas, kemudian dibuatlah
suatu kontrak. Kontrak di antaranya konselor dank lien ini merupakan suatu
cirri khas dalam usaha klien untuk mengadakan hubungan proses konseling
analisis transaksional.
Dalam konseling yang menggunakan pendekatan analisis transaksional
digunakan teknik tertentu. Teknik yang dipergunakan terdiri dari empat tahap.
Tahap-tahap itu diantaranya: (a) Struktural, (b) Analisis transaksional, (c)
Analisis naskah (script analisysis), dan (d)
Analisis mainan (game analysis).[19]
3.
Karakteristik
Pendekatan Konseling Analisis Transaksional
Konselor analisis transaksional adalah individu yang lebih banyak
berperan sebagai fasilitator dalam proses kelompok dan juga sebagai pemimpin
yang memiliki keahlian dalam menganalisis status ego, transaksi, permainan, dan
naskah hidup (life script). Di samping itu konselor juga harus memiliki
kapasitas diri sendiri untuk mengadakan interaksi, komunikasi atau transaksi
dengan klien secara terbuka, penuh kehangatan dan murni. Dan juga konselor
harus memiliki kemampuan untuk membaca dan mengamati tingkah laku klien baik
secara langsung maupun tidak langsung, baik verbal maupun non-verbal.[20]
C.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Teori Konseling Rasional Emotif dengan istilah lain dikenal dengan
“rational-emotive therapy” yang dikembangkan oleh Albert Ellis, seorang
ahli Clinical Psychology (Psikologi Klinis)Tujuan dari RET Albert Ellis
pada intinya adalah untuk mengatasi pikiran yang tidak logis tentang diri
sendiri dan lingkungannya.
Prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh Eric Berne dalam analisis
transaksional adalah upaya untuk merangsang rasa tanggung jawab pribadi atas
tingkah lakunya sendiri, pemikiran yang logis, rasional, tujuan-tujuan yang
realistis, berkomunikasi dengan terbuka, wajar, dan pemahaman dalam berhubungan
dengan orang lain.
2.
Saran
Segala tegur sapa dari pembaca sekalian sangat kami harapkan untuk
mencapai sebuah makalah yang benar dan sempurna, serta bernilai ibadah di sisi
Allah swt.
Daftar Kepustakaan
Sukardi, MBA.,
MM.Drs. Dewa Ketut, Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di
Sekolah. (Jakarta: Rineka Cipta, 2008)
[1]
Drs. Dewa Ketut Sukardi, MBA., MM., Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan
dan Konseling di Sekolah. (Jakarta: Rineka Cipta, 2008) hal.142
[2]
ibid
[3]
Ibid. hal. 143
[4]
Ibid.
[5]
Ibid.
[6]
Ibid.
[7]
Ibid. hal 145-146
[8]
Ibid. 106-108
[9]
Ibid. hal. 149-151
[10]
Ibid. hal. 152
[11]
Ibid.
[12]
Ibid. 153
[13]
Ibid. hal. 154-155
[14]
Ibid.
[15]
Ibid. hal. 157-158
[16]Ibid.
hal. 158-159
[17]
Ibid. hal. 159-162
[18]
Ibid. hal. 165
[19]
Ibid. hal. 170
[20]
Ibid. hal 174